Assalamualaikum
‘Bah, hari ini Republik memperingati kemerdekaannya ke-62. Sama seperti usia abah ketika 3 tahun lalu dipanggil Sang Kuasa. Lihatlah ‘bah, semua orang bersuka cita merayakannya. Mulai dari malam tirakatan, membuat aneka lomba, dangdutan dan barusan saja anakmu ini mengikuti upacara bendera di alun-alun kota yang ditengah-tengahnya ada acara yang disebut dengan “detik-detik proklamasi”. Sirine dibunyikan kencang, bersahut-sahutan dengan klakson kendaraan yang dihentikan polisi. Ya, kira-kira sama dengan prosesi upacara yang dulu pernah abah ikuti di Istana Negara.
Kemarin ‘bah, Presiden telah menyampaikan pidato kenegaraannya. Kalau dulu abah mengikuti pidatonya Soeharto dan Gus Dur, pidato Presiden Indonesia sekarang, SBY, memang sedikit berbeda. Soeharto sangat kaku dan protokoler, Gus Dur yang terlampau rileks (sampai sempat ketiduran, kan?), kalau SBY ini, penyampaiannya kira-kira ya diantara gaya dua Presiden itu lah.. Tetap protokoler tapi nggak kaku, tapi juga nggak rileks-rileks amat.
Kalau mendengar dari pidato yang disampaikan, rasanya Indonesia ini sudah benar-benar merdeka, ‘bah.. Persis komentar abah dulu begitu selesai mendengarkan pidato kenegaraan Soeharto atau Gus Dur. Untuk 2008 nanti, anggaran pendidikan dinaikkan lebih dari dua kali lipat. Sedangkan untuk kesehatan juga begitu, bahkan sampai tiga kali lipat, yang setara dengan 18,8 Triliun! Gaji pegawai, TNI dan polri pun ikut didongkrak sampai 20 persen. Coba ‘bah, apakah ini nggak luar biasa untuk sebuah bangsa yang baru 62 tahun merdeka dan 10 tahun lalu dihantam krisis ekonomi yang hebat?!
Tapi ‘bah, sesungguhnya, semua itu belum mampu menghapus pesimisku. Anggaran yang begitu besar tidak ada yang menjamin akan dilaksanakan sebagaimana adanya. Di pidato presiden kemarin, juga tidak ada penjaminan itu. Dengan kualitas mental birokrasi yang masih seperti sekarang ini, kok rasa-rasanya aku masih ragu rakyat akan benar-benar bisa menikmati anggaran itu. Ya, meski dalam pidatonya juga, SBY berjanji akan melaksanakan reformasi birokrasi yang belum tuntas. Dia berjanji akan memperbaiki kinerja birokrasi, memberikan penilaian kinerja mereka dengan obyektif, transparan dan tentu saja adil, serta melakukan numerasi. Apakah semua itu mampu merubah mentalitas? Ah,.. Abah pasti setuju kalau aku berpendapat: TIDAK.
‘Bah, seorang temanku bertanya padaku kenapa aku mesti gelisah dengan birokrasi, wong Presiden sudah memiliki komitmen yang jelas. Aku kasih dia jawaban, “karena birokrasi yang akan melaksanakan semua komitmen-komitmen SBY itu!”. Kalau yang dikasih amanah tidak cukup kapabilitas dan kapasitasnya, bagaimana bisa amanah itu sampai dan tepat pada sasarannya? Benar kan, ‘bah?
Di Rembang, ‘bah, dimana anakmu ini sekarang mengabdikan diri bagi bangsa ini, di tempat abah hembuskan nafas terakhir di tengah orang-orang dan santri-santri yang mencintai abah, birokrasi pemerintahnya sungguh mengenaskan. Meski, tidak semuanya karena masih ada satu dua orang yang bermental dan memiliki kinerja baik dan patut diacungi jempol. Jujur saja ‘bah, karena aku bisa saksikan kualitas birokrasi dan merasakannya dari tempat yang sangat dekat, kegelisahan-kegelisahan ini muncul dan menjalar di sekujur kesadaranku.
Mohon ampun ‘bah, jika aku aku harus “curhat” dan menyampaikan semua ini pada abah yang pasti mengganggu indahnya surga yang sedang abah nikmati. Habis, aku nggak ngerti lagi harus mengeluhkan ini kepada siapa. Anggota Dewan? Partai-partai? LSM-LSM? Nggak mungkin, ‘bah. Mereka semua sudah seperti kerbau dicocok hidungnya. Diam tak berkutik demi lembaran-lembaran rupiah yang tak seberapa.
Di Rembang, ‘bah, birokrasi sudah menjelma menjadi pelayan kekuasaan. Mereka sudah sangat jauh dari apa yang oleh Max Weber dulu konsepkan tentang ideal type of bureaucracy. Sebuah sistem yang memiliki tata kerja dan distribusi kewenangan yang jelas, berfungsi melayani dan bebas dari segala macam kepentingan selain pelayanan kepada masyarakat. Terus terang aku bingung ‘bah. Weber yang hidup jauh sebelum Indonesia merdeka, kok bisa mencetuskan pemikiran secemerlang itu. Sementara sekarang yang kata orang semua sudah sangat maju, mengglobal, borderless, modern, birokrasinya kok malah amburadul.
Anakmu ini yakin ‘bah, jika abah sempat menyaksikan sendiri keadaan paling mutakhir di pemerintahan Rembang sekarang, abah pasti akan terperangkap dalam kegelisahan dan keprihatinan yang sama. Bagaimana tidak? Reformasi yang digerakkan mahasiswa sepuluh tahun yang lalu, yang salah satunya mencita-citakan birokrasi ideal dan berbeda dengan jaman orde baru –sebuah orde yang digambarkan sebagai titik terendah dari mentalitas birokrasi Indonesia—malah terperosok dalam kubangan yang jauh lebih buruk. Padahal kita tahu kan ‘bah, kalau perjuangan itu tidak gratis. Meminta harta dan nyawa mahasiswa. Aku tahu, karena sedikit banyak aku juga terlibat. (Ingatkan abah, waktu itu nyangoni aku dengan wesi kuning yang konon bisa kebal peluru?).
Ya, birokrasi di Rembang akhirnya hanya jadi jongos penguasa. Penguasa yang blo’on, tolol, bebal, pongah, nggak mau belajar, tapi keminternya setengah mati. Setiap kali diingetin, bukannya berterima kasih malah dianggap sebagai perlawanan, sebagai bentuk rongrongan. Nah, abah bisa bayangin kan, kalau penguasa macam begini memimpin birokrasi yang waton manut? Padahal sebenarnya para birokrat itu pinter-pinter lho ‘bah.. Ada yang dokter, insinyur, sarjana hukum, magister managemen, magister kenotariatan, dan sebagainya. Kalau sudah begitu, apa jadinya bumi Rembang ini, ‘bah? Dulu, semasa abah masih hidup, aku ingat abah pernah katakan,”lebih beruntung segerombolan domba yang dipimpin serigala daripada sekumpulan serigala yang dipimpin domba.” Dan Rembang sekarang, jika mengikuti apa yang abah katakan dulu, sekarang kami sedang dipimpin seekor domba!
Sebenarnya, kegelisahan ini nggak akan sebegini besar jika aku tidak menjadi bagian dari kekuasaan itu,’bah. Ya, meski aku bukan pemegang komando. Tapi takdir telah membawaku ke sini. Ke tempat yang sungguh carut marut. Pemegang tongkat kekuasaan di pemerintahan cuma memikirkan duit, duit dan duit! Komitmennya kepada rakyat selalu menyimpan agenda bagi keuntungan-keuntungan pribadi dan kroni-kroninya. Kalau tidak begitu, ujung yang lain, pasti dipolitisir. Dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi alat untuk mempertahankan kekuasaan. Sederhananya, kekuasaannya jatuh pada kepentingan untuk mempertahankan kekuasaan itu sendiri. Hal ini semakin menjadi-jadi manakala dia tiba-tiba menjadi ketua partai yang didirikan SBY di tingkat lokal. Wah, tambah ngaco, ‘bah. Birokrasi diseret-seret ke wilayah politik dengan cara-cara yang lebih kasar dibanding cara-cara yang dulu pernah digunakan oleh orde baru.
Jadi ‘bah, tolong sampaikan kepada Gusti Allah, betapa teraniayanya kota tercinta kita ini. Sampaikan pula, permohonan ampunku jika aku belum bisa secara total mengabdikan diriku kepada-Nya. Aku masih harus terus berjuang untuk membebaskan rakyat Rembang ini dari despotisme yang berwajah seram sampai aku tak mampu lagi melakukannya. Dan jika kemudian aku nanti pun betul-betul harus menyerah kalah, tolong mintakan kepada Gusti Allah untuk “turun tangan” sendiri untuk membinasakan sang despot itu. Aku yakin Dia pasti kabulkan jika abah yang memintanya.
‘Bah, banyak sekali sebenarnya yang ingin aku ceritakan kepadamu. Tapi aku harus kembali ke medan laga. Karena ternyata kami belum merdeka… Sekali lagi, mohon maaf jika mengganggu ketenanganmu.
Wassalam,
Anakmu
August 18, 2007
Categories: personal . . Author: yaqut . Comments: 3 Comments